Saturday, 8 March 2014

Laporan Penentuan DO


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Air merupakan senyawa yang bersifat pelarut universal, karena sifatnya tersebut, maka tidak ada air dan perairan alami yang murni. Tetapi didalamnya terdapat unsur dan senyawa yang lain. Dengan terlarutnya unsur dan senyawa tersebut, terutama hara mineral, maka air merupakan faktor ekologi bagi makhluk hidup. Walaupun demikian ternyata tidak semua air dapat secara langsung digunakan memenuhi kebutuhan makhluk hidup, tetapi harus memenuhi kriteria dalam setiap parameternya masing-masing (Salmin, 2000).
Dalam menentukan kualitas air atau baik buruknya perairan dapat ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu : derajat keasaman (pH), oksigen terlarut, karbondioksida bebas, daya menggabung asam (DMA), salinitas air, dan Chemical Oxigen Demand (COD). Kebutuhan air untuk berbagai aspek kehidupan menyangkut baik kuantitas maupun kualitasnya. Apabila jumlah airnya berlebihan atau kurang dari yang dibutuhkan, maka akan mengganggu demikian juga kualitas airnya harus sesuai dengan peruntukannya (Salmin, 2000).
Nilai pH merupakan salah satu parameter yang praktis bagi pengukuran kesuburan suatu perairan. Banyak reaksi kimia penting yang terjadi pada tingkatan pH yang sulit. Menurut jenis dan aktivitas biologinya suatu perairan dapat mengubah pH dari unit penanganan limbahnya, tetapi pada umumnya batas toleransi ikan adalah berkisar pada pH 4 “Aerd penth point” sampai pH 2 “Basie death point”. Perairan yang memiliki kadar pH 6,5 – 8,5 merupakan perairan yang sangat ideal untuk tempat hidup dan produktifitas organisme air. Derajat keasaman sering juga digunakan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan atau perairan dalam memproduksi garam mineral. Garam mineral merupakan faktor  penentu  bagi  semua proses  produksi garam di suatu perairan
(Mahida, 1984)
Derajat keasaman perairan merupakan suatu parameter penting dalam pemantauan kualitas air, dengan mengetahui jumlah kadar pH suatu perairan kita dapat mengetahui tingkat produktifitas perairan tersebut. Kandungan pH dalam suatu perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses fotosintesis tumbuhan air. Derajat keasaman suatu perairan juga sangat menentukan kelangsungan hidup organisme dan merupakan resultan sifat kimia, fisika perairan (Welch, 1952).
Jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan suatu tolak ukur keasaman. Lebih banyak ion H+ berarti lebih asam suatu larutan dan lebih sedikit ion H+ berarti lebih basa larutan tersebut. Larutan yang bersifat basa banyak mengandung OH- dan sedikit ion H+. Keasaman dan kebasaan diukur dengan skala logaritma antara 1 sampai 14 satuan. Satuan ini disebut pH dan skalanya skala pH. Oleh karena itu, nilai pH rendah menunjukan kondisi asam, dan nilai pH yang tinggi menunjukan konsentrasi H+ rendah atau konsentrasi OH- tinggi (Nybakken, 1988).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut. Kecepatan difusi oksigen dari udara tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut (Anonim, 2004).
1.2. Tujuan
Adapun tujuan praktikum ini adalah :
a.    Mengetahui alat-alat yang digunakan untuk mengukur oksigen terlarut.
b.    Mampu mengetahui faktor-faktor oksigen terlarut.
c.    Mampu menggunakan alat pengukur itu sendiri.
1.2  Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan pada praktikum ini adalah :
·      Mampu menggunakan alat-alat yang digunakan pada pengukuran oksigen terlarut.     
·      Dapat mengetahui segala aspek tentang oksigen terlarut.
·      Memahami metode pengukuran oksigen terlarut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Nilai pH merupakan salah satu parameter yang praktis bagi pengukuran kesuburan suatu perairan. Banyak reaksi kimia penting yang terjadi pada tingkatan pH yang sulit. Menurut jenis dan aktivitas biologinya suatu perairan dapat mengubah pH dari unit penanganan limbahnya (Mahida, 1984), tetapi pada umumnya batas toleransi ikan adalah berkisar pada pH 4 “Aerd penth point” sampai pH 2 “Basie death point”. Perairan yang memiliki kadar pH 6,5 – 8,5 merupakan perairan yang sangat ideal untuk tempat hidup dan produktifitas organisme air. Derajat keasaman sering juga digunakan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan atau perairan dalam memproduksi garam mineral.
Garam mineral merupakan faktor penentu bagi semua proses produksi di suatu perairan. Derajat keasaman perairan merupakan suatu parameter penting dalam pemantauan kualitas air, dengan mengetahui jumlah kadar pH suatu perairan kita dapat mengetahui tingkat produktifitas perairan tersebut. Kandungan pH dalam suatu perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses fotosintesis tumbuhan air. Derajat keasaman suatu perairan juga sangat menentukan kelangsungan hidup organisme dan merupakan resultan sifat kimia, fisika perairan (Welch, 1952).
Jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan suatu tolak ukur keasaman. Lebih banyak ion H+ berarti lebih asam suatu larutan dan lebih sedikit ion H+ berarti lebih basa larutan tersebut. Larutan yang bersifat basa banyak mengandung OH- dan sedikit ion H+. Keasaman dan kebasaan diukur dengan skala logaritma antara 1 sampai 14 satuan. Satuan ini disebut pH dan skalanya skala pH. Oleh karena itu, nilai pH rendah menunjukan kondisi asam, dan nilai pH yang tinggi menunjukan konsentrasi H+ rendah atau konsentrasi OH- tinggi (Nybakken, 1988).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000).
Kecepatan difusi oksigen dari udara tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, 1968). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Huet, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonimous, 2004).
Kandungan Karbondioksida bebas (CO2) dalam suatu perairan maksimal 20 ppm (Rahmatin, 1976). Kandungan Karbondioksida bebas (CO2) pada suatu perairan melebihi 20 ppm, maka membahayakan biota laut bahkan meracuni kehidupan organisme perairan. Kandungan karbondioksida bebas dalam suatu perairan lebih tinggi dari 12 ppm dapat membahayakan kehidupan organisme perairan, dapat diasumsikan bahwa bila dalam suatu perairan kadar Karbondioksida (CO2) berlebihan dapat berdampak kritis bagi kehidupan binatang air (Spotte, 1920).
Karbondioksida bebas (CO2) merupakan salah satu gas respirasi yang penting bagi sistem perairan, kandungan karbondioksida bebas dipengaruhi oleh kandungan bahan organik terurai, agilasi suhu, pH, dan aktivitas fotosintesis. Sumber CO2 bebas berasal dari proses pembangunan bahan organik oleh jasad renik dan respirasi organisme (Soesono 1970), dan menurut Widjadja (1975) karbondioksida bebas dalam perairan berasal dari hasil penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri dekomposer atau mikroorganisme, naiknya CO2 selalu diiringi oleh turunya kadar O2 terlarut yang diperlukan bagi pernafasan hewan-hewan air. Dengan demikian walaupun CO2 belum mencapai kadar tinggi yang mematikan, hewan-hewan air sudah mati karena kekurangan O2. Kadar CO2 yang dikehendaki oleh ikan adalah tidak lebih dari 12 ppm dengan kandungan O2 terendah adalah 2 ppm (Asmawi, 1983).
Istilah karbondioksida bebas digunakan untuk menjelaskan CO2 yang terlarut dalam air, selain yang berada dalam bentuk terikat sebagai ion bikarbonat ( HCO3) dan ion karbonat ( CO32-). Karbondioksida bebas (CO2) bebas menggambarkan keberadaan gas CO2 di perairan yang membentuk keseimbangan dengan CO2 di atmosfer. Nilai CO2 yang terukur biasanya berupa CO2 bebas. Perairan tawar alami hampir tidak memiliki pH > 9 sehingga tidak ditemukan karbon dalam bentuk karbonat. Pada air tanah, kandungan karbonat biasanya sekitar 10 mg/L karena sifat tanah yang cenderung alkalis. Perairan yang memiliki kadar sodium tinggi mengandung karbonat sekitar 50 mg/L. Perairan tawar alami yang memiliki pH 7 – 8 biasanya mengandung ion karbonat < 500 mg/L dan hampir tidak pernah kurang dari 25 mg/L. Ion ini mendominasi sekitar 60 – 90% bentuk karbon organik total di perairan (McNeeley, 1979 dalam Effendi, 2003).
Kadar karbon di perairan dapat mengalami penurunan bahkan hilang akibat proses fotosintesis, evaporasi dan agitasi air. Perairan yang diperuntukan untuk kepentingan perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas < 5 mg/L. Kadar karbondioksida sebesar 10 mg/L masih dapat ditolerir oleh organisme akuatik, asal disertai oksigen yang cukup. Sebagian besar organisme akuatik dapat bertahan hidup hingga kadar karbondioksida bebas mencapai sebesar 60 mg/L (Byod, 1988 dalam Mahida, 1948).
Karbondioksida bebas dalam perairan dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu sebagai berikut : Difusi dari atmosfer, karbondioksida yang terdapat di atmosfer mengalami difusi secara langsung ke dalam air. Air hujan yang jatuh di permukaan bumi secara teoretis memiliki kandungan karbondioksida sebesar 0,55 – 0,60 mg/L, berasal dari karbondioksida yang terdapat di atmosfer.
Tanah organik yang mengalami dekomposisi mengandung relatif banyak karbondioksida sebagai hasil proses dekomposisi (Salmin, 2000).
Respirasi tumbuhan, hewan, dan bakteri aerob maupun anaerob. Sebagian kecil karbondioksida yang terdapat di atmosfer larut ke dalam air membentuk asam karbonat, yang selanjutnya jatuh sebagai hujan. Sehingga air hujan selalu bersifat asam dengan nilai pH sekitar 5,6.
Daya Menggabung Asam (DMA) adalah suatu cara menyatakan alkalinitas suatu perairan. Jika DMA rendah, perairan itu kurang baik daya penyangganya, sebaliknya jika DMA tinggi, maka perairan tersebut daya produksinya secara hayati bisa menjadi lebih besar dalam batas tertentu (Soeseno, 1970).
Menurut Wardoyo (1981), alkalinitas atau DMA suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator subur atau tidaknya suatu perairan. Alkalinitas juga menggambarkan kandungan basa dalam kation NH4, Ca, Mg, K, Na, dan Fe yang pada umumnya bersenyawa dengan anion karbonat dan bikarbonat, asam lemah dan hidroksida. Soeseno (1974) menyatakan apabila DMA suatu perairan tinggi maka daya produksinya secara hayati bisa besar, dan apabila DMA perairan rendah maka perairan itu kurang baik daya penyangganya (soft water).
Berdasarkan penentuan DMA menurut (asmawi, 1983) perairan dibagi menjadi 4 golongan yaitu:
Perairan dengan DMA 0 sampai 0,5. Perairan golongan ini terlalu asam dan tidak produktif sehingga tidak baik untuk memelihara ikan. Perairan dengan DMA 0,5 sampai 2,0. Perairan ini pH-nya masih belum mantap tetapi sudah dapat di pakai untuk memelihara ikan, dan produktifitas kandungan bahan organik sudah tergolong tinggi. Perairan dengan DMA 2,0 sampai 5,0 . Perairan golongan ini pH-nya sudah agak basa, sangat produktif dan sangat baik untuk kehidupan ikan.Perairan dengan DMA 5,0 (Salmin, 2000).
Perairan yang ini tarmasuk golongan perairan yang terlalu basa, dengan demikian berarti kurang baik untuk memelihara ikan. Chemical Oxygen Demand (COD) adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara kimiawi, dengan reduktornya KMnO4 atau K7Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen (Oxidixing Agent). Selain itu, penetapannya di dasarkan atas reaksi oksidasi bahan organik dengan oksigen dan proses tersebut berlangsung secara kimia dalam kondisi asam dan mendidih, dalam melakukan percobaan COD ini dapat menggunakan metode permanganat dan bikromat (Soeseno, 1970).
Menurut (lee at al., 1978), semakin banyak bahan organik yang menumpuk dalam suatu perairan, nilai COD akan semakin tinggi dan kemudian akan menurun dengan adanya dekomposer lebih lanjut dari bahan organik. Tingkat produktivitas primer merupakan deskripsi kualitatif yang menyatakan konsentrasi unsur hara yang terdapat di dalam suatu badan air atau merupakan laju pembentukan senyawa-senyawa organic yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik. Tingkat produktivitas primer perairan berasal dari ketersediaan unsur hara N dan P. Dimana kedua unsur ini merupakan unsur hara yang esensial yang dibutuhkan dalam pertumbuhan organisme. Dan apabila kekurangan unsur ini maka akan menyebabkan rendahnya produktivitas primer suatu perairan, khususnya pada laut (Soeseno, 1970).
Laut merupakan perairan terbuka dan mengalir (lotik) yang mendapat masukan dari semua buangan berbagai kegiatan manusia di daerah pemukiman, pertanian dan industri di daerah sekitarnya. Masukan buangan ke dalam laut akan mengakibatkan terjadinya perubahan faktor fisika, kimia dan biologi di dalam perairan. Perubahan ini dapat menghabiskan bahan-bahan yang esensial dalam perairan sehingga dapat mengganggu lingkungan perairan. Berkembangnya kegiatan penduduk di Daerah Aliran Laut (DAS), seperti bertambahnya pemukiman penduduk, kegiatan industri rumah tanggadan kegiatan pertanian, dapat berpengaruh mempengaruhi kualitas air karena limbah yang dihasilkan dari kegiatan penduduk tersebut dibuang langsung ke laut (Salmin, 2000).
Adanya masukan bahan-bahan terlarut yang dihasilkan oleh kegiatan penduduk di sekitar DAS sampai pada batas-batas tertentu tidak akan menurunkan kualitas air laut. Namun apabila beban masukan bahan-bahan terlarut tersebut melebihi kemampuan laut untuk membersihkan diri (self purification), maka timbul permasalahan yang serius yaitu pencemaran perairan, sehingga berpengarus negatif terhadap kehidupan biota perairan dan kesehatan penduduk yang memanfaatkan air laut tersebut (Soeseno, 1970).
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen/DO) adalah jumlah oksigen yang ada dalam kolom air. Dalam lingkungan perairan level oksigen terlarut dipengaruhi oleh temperatur, salinitas, dan ketinggian. Oksigen terlarut (DO) sangat dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis dan respirasi (Afrianti, 2000). Sumber utama oksigen terlarut dalam air menurut Basyarie (1995) adalah difusi udara dan dari hasil fotosintesis biota berklorofil yang hidup di perairan.
Sutarman (1993) menambahkan bahwa pada suhu perairan yang tinggi, aktifitas metabolisme perairan akan semakin meningkat dimana pada kondisi tersebut kadar oksigen yang dikonsumsi semakin bertambah dan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu air, dan sebaliknya pada suhu perairan rendah, laju metabolisme dan kadar oksigen yang dikonsumsi juga rendah (Fardiaz, 1992).
Mengemukakan, oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di dalam air, kehidupan makhluk hidup dalam air tersebut tergantung pada kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen, minimal yang dibutuhkan untuk kehidupan. Kandungan oksigen di dalam air untuk dapat mendukung kehidupan organisme air menurut Afrianto dan Liviawati (1994) berkisar antara 4-8 mg/liter. Parameter kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut (DO) menurut (Schmitz, 1971 dalam Alfan, 1995).
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidupuntuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkanenergi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Untuk menjaga keseimbangan air terhadaplingkungannya diperlukan standar parameter yang perlu mendapat perhatian, yaitu :
•BOD < 75 ppm
•COD < 100 ppm
•DO > 3 ppm
•SS (Suspended solid) < 100 ppm
•pH 6 – 9 (idealnya 6,5 – 7,5)
Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut. Kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnyasuhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Kandungan oksigen terlarut (DO)minimum adalah 2 ppm dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun(
toksik ).
Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme . Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidakboleh kurang dari 1,7 ppm selamawaktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 %. KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Soeseno, 1970).
Analisis oksigen terlarut
Oksigen terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan 2 macam cara, yaitu:
a)Metoda titrasi dengan cara WINKLER Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri. Sampel yang akan dianalisisterlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2dan NaOH - KI, sehingga akan terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atau HCl maka endapan yang terjadiakan larut kembali dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalendengan oksigen terlarut.Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan standar natriumtiosulfat (Na2S203) dan menggunakan indikator larutan amilum (kanji). Reaksi kimiayang terjadi dapat dirumuskan :
•MnCI2+ NaOHàMn(OH)2+ 2 NaCI
•2 Mn(OH)2+ O2à2 MnO2+ 2 H2O
•MnO2+ 2 KI + 2 H2OMn(OH)2+ I2+ 2 KOH
•I2+ 2 Na2S2C3Na2S4O6+ 2 NaI
b)Metoda elektrokimiaCara penentuan oksigen terlarut dengan metoda elektrokimia adalah caralangsung untuk menentukan oksigen terlarut dengan alat DOmeter. Prinsip kerjanya adalah menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang direndam.
Nilai pH merupakan salah satu parameter yang praktis bagi pengukuran kesuburan suatu perairan. Banyak reaksi kimia penting yang terjadi pada tingkatan pH yang sulit. Menurut jenis dan aktivitas biologinya suatu perairan dapat mengubah pH dari unit penanganan limbahnya (Mahida, 1984), tetapi pada umumnya batas toleransi ikan adalah berkisar pada pH 4 “Aerd penth point” sampai pH 2 “Basie death point”.
Adanya masukan bahan-bahan terlarut yang dihasilkan oleh kegiatan penduduk di sekitar DAS sampai pada batas-batas tertentu tidak akan menurunkan kualitas air laut. Namun apabila beban masukan bahan-bahan terlarut tersebut melebihi kemampuan laut untuk membersihkan diri (self purification), maka timbul permasalahan yang serius yaitu pencemaran perairan, sehingga berpengarus negatif terhadap kehidupan biota perairan dan kesehatan penduduk yang memanfaatkan air laut tersebut (Soeseno, 1970).
BAB III
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari senin, 14 November 2011 pukul 13.30 WIB. Bertempat diruang laboratorium Oseanografi, jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya, Inderalaya.
3.2. Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
1. kertas milimeter blok
2. kalkulator
3. penggaris
4. pensil
5. penghapus
6. pena
3.3. Cara Kerja
Buatlah diagram dari hasil tersebut
 

BAB IV
PEMBAHASAN
Di dalam air, oksigen memainkan peranan dalam menguraikan komponen-komponen kimia menjadi komponen yang lebih sederhana. Oksigen memiliki kemampuan untuk beroksida dengan zat pencemar seperti komponen organik sehingga zat pencemar tersebut tidak membahayakan. Oksigen juga diperlukan oleh mikroorganisme, baik yang bersifat aerob serta anaerob, dalam proses metabolisme. Dengan adanya oksigen dalam air, mikroorganisme semakin giat dalam menguraikan kandungan dalam air.
Oksigen terlarut (dissolved oxygen, disingkat DO) atau sering juga disebut dengan kebutuhan oksigen (Oxygen demand) merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air. Nilai DO yang biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini menunjukan jumlah oksigen (O2) yang tersedia dalam suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan mikroorganisme. Selain itu kemampuan air untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam air. Oleh sebab pengukuran parameter ini sangat dianjurkan disamping paramter lain seperti kob dan kod.
Pada umumnya air lingkungan yang telah tercemar kandungan oksigennya sangat rendah. Hal itu karena oksigen yang terlarut di dalam air diserap oleh mikroorganisme untuk memecah/mendegradasi bahan buangan organik sehingga menjadi bahan yang mudah menguap (yang ditandai dengan bau busuk). Selain dari itu, bahan buangan organik juga dapat bereaksi dengan oksigen yang terlarut di dalam air organik yang ada di dalam air, makin sedikit sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya. Bahan buangan organik biasanya berasal dari industri kertas, industri penyamakan kulit, industri pengolahan bahan makanan (seperti industri pemotongan daging, industri pengalengan ikan, industri pembekuan udang, industri roti, industri susu, industri keju dan mentega), bahan buangan limbah rumah tangga, bahan buangan limbah pertanian, kotoran hewan dan kotoran manusia dan lain sebagainya.
Dengan melihat kandungan oksigen yang terlarut di dalam air dapat ditentukan seberapa jauh tingkat pencemaran air lingkungan telah terjadi. Cara yang ditempuh untuk maksud tersebut adalah dengan uji :
  1. COD, singkatan dari Chemical Oxygen Demand, atau kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air.
  2. BOD singkatan dari Biological Oxygen Demand, atau kebutuhan oksigen biologis untuk memecah bahan buangan di dalam air oleh mikroorganisme.
Melalui kedua cara tersebut dapat ditentukan tingkat pencemaran air lingkungan. Perbedaan dari kedua cara uji oksigen yang terlarut di dalam air tersebut Pertambahan konsentrasi oksigen terlarut per satuan waktu dipengaruhi oleh bertambahnya oksigen dalam perairan karena adanya proses reaerasi dan fotosintesis. Sementara itu, berkurangnya konsentrasi oksigen per satuan waktu dipengaruhi oleh konsumsi oksigen oleh pernapasan organisme pada ekosistem perairan. Berdasarkan asumsi-asumsi dan variabel-variabel yang digunakan serta berdasarkan persamaan (4.1), (4.2) dan (4.3) maka diperoleh model sederhana dari konsentrasi oksigen terlarut pada suatu ekosistem perairan.
Derajat keasaman perairan merupakan suatu parameter penting dalam pemantauan kualitas air, dengan mengetahui jumlah kadar pH suatu perairan kita dapat mengetahui tingkat produktifitas perairan tersebut. Kandungan pH dalam suatu perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses fotosintesis tumbuhan air. Derajat keasaman suatu perairan juga sangat menentukan kelangsungan hidup organisme dan merupakan resultan sifat kimia, fisika perairan.
 Kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, 1968). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 %.
BAB V
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang didapat adalah :
  1. Kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas.Air laut lebih padat karena garam yang terkandung didalamnya.
  2. Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme.
  3. Derajat keasaman perairan merupakan suatu parameter penting dalam pemantauan kualitas air.
4. Dengan melihat kandungan oksigen yang terlarut di dalam air dapat ditentukan seberapa jauh tingkat pencemaran air lingkungan telah terjadi.
5.  Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus.
DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, 2000. Kamus Istilah Perikanan. Kanisius. Yogyakarta.       http://oseanografi.blogspot.com/200765.html  (Diakses pada tanggal 10 November 2011)

Alfan, M.S., 1995. Evaluasi Kualitas Fisika Kimia Air, sungai Ciliwung di Wilayah Kota Administrasi Depok bagi Kepentingan Perikanan. Skripsi. IPB. Bogor.

Anonim. 2011. DissolveOksigen.   http://id.wikipedia.org.wiki/salinitas  (Diakses pada tanggal 10 November 2011)

Anonim. 2011. OksigenTerlarut.  http://oseanografi.blogspot.com/200765.html

         (Diakses pada tanggal 10 November 2011)
Basyarie, A., 1995. Pengamatan Kualitas Perairan di kawasan Pemeliharaan Ikan Ekor Kuning (Yellow Tail) dalam Keramba Jaring Apung. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Bojonegoro. Serang.
Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. http://blogspot.orang
Pintar.com (Diakses pada tanggal 10 November 2011)
Effendi, H., 2000. Telaahan Kualitas Air. IPB Press. Bogor.
Fardiaz, S., 1995. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri.
http://blogspot.orangPintar.com (Diakses pada tanggal 10 November 2011)
Nontji,Anugerah.2002.Laut Nusantara.Jakarata : Djambatan
Nyebaken, JW. 1971. Biologi laut suatu pendekatan ekologi. Gramedia : Jakarta.
Salmin. 2000. Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba,  Muara Karang dan Teluk Banten. http://blogspot.orangPintar.com (Diakses pada tanggal 10 November 2011)
Soeseno. S . 1970. Limnologi untuk Sekolah Perikanan Menengah Atas. IPB, Bogor. http://blogspot.orangPintar.com (Diakses pada tanggal 10 November 2011)
Sugiharto. (1987). Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UIP: 6-7.

No comments:

Post a Comment