BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Air merupakan senyawa yang bersifat pelarut universal, karena sifatnya
tersebut, maka tidak ada air dan perairan alami yang murni. Tetapi didalamnya
terdapat unsur dan senyawa yang lain. Dengan terlarutnya unsur dan senyawa
tersebut, terutama hara mineral, maka air merupakan faktor ekologi bagi makhluk
hidup. Walaupun demikian ternyata tidak semua air dapat secara langsung
digunakan memenuhi kebutuhan makhluk hidup, tetapi harus memenuhi kriteria
dalam setiap parameternya masing-masing (Salmin, 2000).
Dalam menentukan kualitas air atau baik buruknya perairan dapat
ditentukan oleh berbagai faktor, yaitu : derajat keasaman (pH), oksigen
terlarut, karbondioksida bebas, daya menggabung asam (DMA), salinitas air, dan
Chemical Oxigen Demand (COD). Kebutuhan air untuk berbagai aspek kehidupan
menyangkut baik kuantitas maupun kualitasnya. Apabila jumlah airnya berlebihan
atau kurang dari yang dibutuhkan, maka akan mengganggu demikian juga kualitas
airnya harus sesuai dengan peruntukannya (Salmin, 2000).
Nilai pH merupakan salah satu parameter yang praktis bagi pengukuran
kesuburan suatu perairan. Banyak reaksi kimia penting yang terjadi pada
tingkatan pH yang sulit. Menurut jenis dan aktivitas biologinya suatu perairan
dapat mengubah pH dari unit penanganan limbahnya, tetapi pada umumnya batas
toleransi ikan adalah berkisar pada pH 4 “Aerd penth point” sampai pH 2 “Basie
death point”. Perairan yang memiliki kadar pH 6,5 – 8,5 merupakan perairan yang
sangat ideal untuk tempat hidup dan produktifitas organisme air. Derajat
keasaman sering juga digunakan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan atau
perairan dalam memproduksi garam mineral. Garam mineral merupakan faktor penentu bagi semua proses
produksi garam di suatu perairan
(Mahida, 1984)
Derajat keasaman perairan merupakan suatu parameter penting dalam
pemantauan kualitas air, dengan mengetahui jumlah kadar pH suatu perairan kita
dapat mengetahui tingkat produktifitas perairan tersebut. Kandungan pH dalam
suatu perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses
fotosintesis tumbuhan air. Derajat keasaman suatu perairan juga sangat
menentukan kelangsungan hidup organisme dan merupakan resultan sifat kimia,
fisika perairan (Welch, 1952).
Jumlah ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan suatu tolak ukur
keasaman. Lebih banyak ion H+ berarti lebih asam suatu larutan dan lebih
sedikit ion H+ berarti lebih basa larutan tersebut. Larutan yang bersifat basa
banyak mengandung OH- dan sedikit ion H+. Keasaman dan kebasaan diukur dengan
skala logaritma antara 1 sampai 14 satuan. Satuan ini disebut pH dan skalanya
skala pH. Oleh karena itu, nilai pH rendah menunjukan kondisi asam, dan nilai
pH yang tinggi menunjukan konsentrasi H+ rendah atau konsentrasi OH- tinggi
(Nybakken, 1988).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan,
karena oksigen terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan
organik dan anorganik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari
suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang
hidup dalam perairan tersebut. Kecepatan difusi oksigen dari udara tergantung
sari beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa
air dan udara seperti arus, gelombang dan pasang surut (Anonim, 2004).
1.2. Tujuan
Adapun tujuan
praktikum ini adalah :
a.
Mengetahui alat-alat yang digunakan untuk mengukur oksigen
terlarut.
b.
Mampu mengetahui faktor-faktor oksigen terlarut.
c.
Mampu menggunakan alat pengukur itu sendiri.
1.2 Manfaat
Adapun manfaat
yang diharapkan pada praktikum ini adalah :
·
Mampu menggunakan alat-alat yang digunakan pada
pengukuran oksigen terlarut.
·
Dapat mengetahui segala aspek tentang oksigen
terlarut.
·
Memahami metode pengukuran oksigen terlarut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Nilai
pH merupakan salah satu parameter yang praktis bagi pengukuran kesuburan suatu
perairan. Banyak reaksi kimia penting yang terjadi pada tingkatan pH yang
sulit. Menurut jenis dan aktivitas biologinya suatu perairan dapat mengubah pH
dari unit penanganan limbahnya (Mahida, 1984), tetapi pada umumnya batas
toleransi ikan adalah berkisar pada pH 4 “Aerd penth point” sampai pH 2 “Basie
death point”. Perairan yang memiliki kadar pH 6,5 – 8,5 merupakan perairan yang
sangat ideal untuk tempat hidup dan produktifitas organisme air. Derajat
keasaman sering juga digunakan untuk memperoleh gambaran tentang kemampuan atau
perairan dalam memproduksi garam mineral.
Garam
mineral merupakan faktor penentu bagi semua proses produksi di suatu perairan.
Derajat keasaman perairan merupakan suatu parameter penting dalam pemantauan
kualitas air, dengan mengetahui jumlah kadar pH suatu perairan kita dapat
mengetahui tingkat produktifitas perairan tersebut. Kandungan pH dalam suatu
perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses fotosintesis
tumbuhan air. Derajat keasaman suatu perairan juga sangat menentukan
kelangsungan hidup organisme dan merupakan resultan sifat kimia, fisika
perairan (Welch, 1952).
Jumlah
ion hidrogen dalam suatu larutan merupakan suatu tolak ukur keasaman. Lebih
banyak ion H+ berarti lebih asam suatu larutan dan lebih sedikit ion H+ berarti
lebih basa larutan tersebut. Larutan yang bersifat basa banyak mengandung OH-
dan sedikit ion H+. Keasaman dan kebasaan diukur dengan skala logaritma antara
1 sampai 14 satuan. Satuan ini disebut pH dan skalanya skala pH. Oleh karena
itu, nilai pH rendah menunjukan kondisi asam, dan nilai pH yang tinggi
menunjukan konsentrasi H+ rendah atau konsentrasi OH- tinggi (Nybakken, 1988).
Oksigen
memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena oksigen
terlarut berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan
anorganik. Sumber utama oksigen dalam suatu perairan berasal dari suatu proses
difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam
perairan tersebut (Salmin, 2000).
Kecepatan
difusi oksigen dari udara tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan
air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang
dan pasang surut. Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut
akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin
tingginya salinitas. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam
keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan
oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme
(Swingle, 1968). Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari
1,7 ppm selama waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70
% (Huet, 1970). KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen terlarut adalah 5 ppm
untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut (Anonimous, 2004).
Kandungan
Karbondioksida bebas (CO2) dalam suatu perairan maksimal 20 ppm (Rahmatin,
1976). Kandungan Karbondioksida bebas (CO2) pada suatu perairan melebihi 20
ppm, maka membahayakan biota laut bahkan meracuni kehidupan organisme perairan.
Kandungan karbondioksida bebas dalam suatu perairan lebih tinggi dari 12 ppm
dapat membahayakan kehidupan organisme perairan, dapat diasumsikan bahwa bila
dalam suatu perairan kadar Karbondioksida (CO2) berlebihan dapat berdampak
kritis bagi kehidupan binatang air (Spotte, 1920).
Karbondioksida
bebas (CO2) merupakan salah satu gas respirasi yang penting bagi sistem
perairan, kandungan karbondioksida bebas dipengaruhi oleh kandungan bahan
organik terurai, agilasi suhu, pH, dan aktivitas fotosintesis. Sumber CO2 bebas
berasal dari proses pembangunan bahan organik oleh jasad renik dan respirasi
organisme (Soesono 1970), dan menurut Widjadja (1975) karbondioksida bebas
dalam perairan berasal dari hasil penguraian bahan-bahan organik oleh bakteri
dekomposer atau mikroorganisme, naiknya CO2 selalu diiringi oleh turunya kadar
O2 terlarut yang diperlukan bagi pernafasan hewan-hewan air. Dengan demikian
walaupun CO2 belum mencapai kadar tinggi yang mematikan, hewan-hewan air sudah
mati karena kekurangan O2. Kadar CO2 yang dikehendaki oleh ikan adalah tidak
lebih dari 12 ppm dengan kandungan O2 terendah adalah 2 ppm (Asmawi, 1983).
Istilah
karbondioksida bebas digunakan untuk menjelaskan CO2 yang terlarut dalam air,
selain yang berada dalam bentuk terikat sebagai ion bikarbonat ( HCO3) dan ion
karbonat ( CO32-). Karbondioksida bebas (CO2) bebas menggambarkan keberadaan
gas CO2 di perairan yang membentuk keseimbangan dengan CO2 di atmosfer. Nilai
CO2 yang terukur biasanya berupa CO2 bebas. Perairan tawar alami hampir tidak
memiliki pH > 9 sehingga tidak ditemukan karbon dalam bentuk karbonat. Pada
air tanah, kandungan karbonat biasanya sekitar 10 mg/L karena sifat tanah yang
cenderung alkalis. Perairan yang memiliki kadar sodium tinggi mengandung
karbonat sekitar 50 mg/L. Perairan tawar alami yang memiliki pH 7 – 8 biasanya
mengandung ion karbonat < 500 mg/L dan hampir tidak pernah kurang dari 25
mg/L. Ion ini mendominasi sekitar 60 – 90% bentuk karbon organik total di
perairan (McNeeley, 1979 dalam Effendi, 2003).
Kadar
karbon di perairan dapat mengalami penurunan bahkan hilang akibat proses
fotosintesis, evaporasi dan agitasi air. Perairan yang diperuntukan untuk
kepentingan perikanan sebaiknya mengandung kadar karbondioksida bebas < 5
mg/L. Kadar karbondioksida sebesar 10 mg/L masih dapat ditolerir oleh organisme
akuatik, asal disertai oksigen yang cukup. Sebagian besar organisme akuatik
dapat bertahan hidup hingga kadar karbondioksida bebas mencapai sebesar 60 mg/L
(Byod, 1988 dalam Mahida, 1948).
Karbondioksida
bebas dalam perairan dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu sebagai berikut
: Difusi dari atmosfer, karbondioksida yang terdapat di atmosfer mengalami
difusi secara langsung ke dalam air. Air hujan yang jatuh di permukaan bumi
secara teoretis memiliki kandungan karbondioksida sebesar 0,55 – 0,60 mg/L,
berasal dari karbondioksida yang terdapat di atmosfer.
Tanah organik yang mengalami dekomposisi mengandung relatif banyak karbondioksida sebagai hasil proses dekomposisi (Salmin, 2000).
Tanah organik yang mengalami dekomposisi mengandung relatif banyak karbondioksida sebagai hasil proses dekomposisi (Salmin, 2000).
Respirasi
tumbuhan, hewan, dan bakteri aerob maupun anaerob. Sebagian kecil
karbondioksida yang terdapat di atmosfer larut ke dalam air membentuk asam
karbonat, yang selanjutnya jatuh sebagai hujan. Sehingga air hujan selalu
bersifat asam dengan nilai pH sekitar 5,6.
Daya Menggabung Asam (DMA) adalah suatu cara menyatakan alkalinitas suatu perairan. Jika DMA rendah, perairan itu kurang baik daya penyangganya, sebaliknya jika DMA tinggi, maka perairan tersebut daya produksinya secara hayati bisa menjadi lebih besar dalam batas tertentu (Soeseno, 1970).
Daya Menggabung Asam (DMA) adalah suatu cara menyatakan alkalinitas suatu perairan. Jika DMA rendah, perairan itu kurang baik daya penyangganya, sebaliknya jika DMA tinggi, maka perairan tersebut daya produksinya secara hayati bisa menjadi lebih besar dalam batas tertentu (Soeseno, 1970).
Menurut
Wardoyo (1981), alkalinitas atau DMA suatu perairan dapat digunakan sebagai
indikator subur atau tidaknya suatu perairan. Alkalinitas juga menggambarkan
kandungan basa dalam kation NH4, Ca, Mg, K, Na, dan Fe yang pada umumnya
bersenyawa dengan anion karbonat dan bikarbonat, asam lemah dan hidroksida.
Soeseno (1974) menyatakan apabila DMA suatu perairan tinggi maka daya
produksinya secara hayati bisa besar, dan apabila DMA perairan rendah maka
perairan itu kurang baik daya penyangganya (soft water).
Berdasarkan penentuan DMA menurut (asmawi, 1983) perairan dibagi menjadi 4 golongan yaitu:
Berdasarkan penentuan DMA menurut (asmawi, 1983) perairan dibagi menjadi 4 golongan yaitu:
Perairan
dengan DMA 0 sampai 0,5. Perairan golongan ini terlalu asam dan tidak produktif
sehingga tidak baik untuk memelihara ikan. Perairan dengan DMA 0,5 sampai 2,0. Perairan
ini pH-nya masih belum mantap tetapi sudah dapat di pakai untuk memelihara
ikan, dan produktifitas kandungan bahan organik sudah tergolong tinggi. Perairan
dengan DMA 2,0 sampai 5,0 . Perairan golongan ini pH-nya sudah agak basa,
sangat produktif dan sangat baik untuk kehidupan ikan.Perairan dengan DMA 5,0
(Salmin, 2000).
Perairan
yang ini tarmasuk golongan perairan yang terlalu basa, dengan demikian berarti
kurang baik untuk memelihara ikan. Chemical Oxygen Demand (COD) adalah
banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan organik secara
kimiawi, dengan reduktornya KMnO4 atau K7Cr2O7 digunakan sebagai sumber oksigen
(Oxidixing Agent). Selain itu, penetapannya di dasarkan atas reaksi oksidasi
bahan organik dengan oksigen dan proses tersebut berlangsung secara kimia dalam
kondisi asam dan mendidih, dalam melakukan percobaan COD ini dapat menggunakan
metode permanganat dan bikromat (Soeseno, 1970).
Menurut
(lee at al., 1978), semakin banyak bahan organik yang menumpuk dalam suatu
perairan, nilai COD akan semakin tinggi dan kemudian akan menurun dengan adanya
dekomposer lebih lanjut dari bahan organik. Tingkat produktivitas primer
merupakan deskripsi kualitatif yang menyatakan konsentrasi unsur hara yang
terdapat di dalam suatu badan air atau merupakan laju pembentukan
senyawa-senyawa organic yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik.
Tingkat produktivitas primer perairan berasal dari ketersediaan unsur hara N
dan P. Dimana kedua unsur ini merupakan unsur hara yang esensial yang
dibutuhkan dalam pertumbuhan organisme. Dan apabila kekurangan unsur ini maka
akan menyebabkan rendahnya produktivitas primer suatu perairan, khususnya pada
laut (Soeseno, 1970).
Laut
merupakan perairan terbuka dan mengalir (lotik) yang mendapat masukan dari
semua buangan berbagai kegiatan manusia di daerah pemukiman, pertanian dan
industri di daerah sekitarnya. Masukan buangan ke dalam laut akan mengakibatkan
terjadinya perubahan faktor fisika, kimia dan biologi di dalam perairan.
Perubahan ini dapat menghabiskan bahan-bahan yang esensial dalam perairan
sehingga dapat mengganggu lingkungan perairan. Berkembangnya kegiatan penduduk
di Daerah Aliran Laut (DAS), seperti bertambahnya pemukiman penduduk, kegiatan
industri rumah tanggadan kegiatan pertanian, dapat berpengaruh mempengaruhi
kualitas air karena limbah yang dihasilkan dari kegiatan penduduk tersebut
dibuang langsung ke laut (Salmin, 2000).
Adanya
masukan bahan-bahan terlarut yang dihasilkan oleh kegiatan penduduk di sekitar
DAS sampai pada batas-batas tertentu tidak akan menurunkan kualitas air laut.
Namun apabila beban masukan bahan-bahan terlarut tersebut melebihi kemampuan
laut untuk membersihkan diri (self purification), maka timbul permasalahan yang
serius yaitu pencemaran perairan, sehingga berpengarus negatif terhadap
kehidupan biota perairan dan kesehatan penduduk yang memanfaatkan air laut
tersebut (Soeseno, 1970).
Oksigen
terlarut (Dissolved Oxygen/DO) adalah jumlah oksigen yang ada dalam kolom air.
Dalam lingkungan perairan level oksigen terlarut dipengaruhi oleh temperatur,
salinitas, dan ketinggian. Oksigen terlarut (DO) sangat dipengaruhi oleh
aktivitas fotosintesis dan respirasi (Afrianti, 2000). Sumber utama oksigen
terlarut dalam air menurut Basyarie (1995) adalah difusi udara dan dari hasil
fotosintesis biota berklorofil yang hidup di perairan.
Sutarman (1993) menambahkan bahwa pada suhu perairan yang tinggi, aktifitas metabolisme perairan akan semakin meningkat dimana pada kondisi tersebut kadar oksigen yang dikonsumsi semakin bertambah dan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu air, dan sebaliknya pada suhu perairan rendah, laju metabolisme dan kadar oksigen yang dikonsumsi juga rendah (Fardiaz, 1992).
Sutarman (1993) menambahkan bahwa pada suhu perairan yang tinggi, aktifitas metabolisme perairan akan semakin meningkat dimana pada kondisi tersebut kadar oksigen yang dikonsumsi semakin bertambah dan kelarutan oksigen dalam air menurun dengan bertambahnya suhu air, dan sebaliknya pada suhu perairan rendah, laju metabolisme dan kadar oksigen yang dikonsumsi juga rendah (Fardiaz, 1992).
Mengemukakan,
oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman dan hewan di
dalam air, kehidupan makhluk hidup dalam air tersebut tergantung pada kemampuan
air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen, minimal yang dibutuhkan untuk
kehidupan. Kandungan oksigen di dalam air untuk dapat mendukung kehidupan
organisme air menurut Afrianto dan Liviawati (1994) berkisar antara 4-8
mg/liter. Parameter kualitas air berdasarkan kandungan oksigen terlarut (DO)
menurut (Schmitz, 1971 dalam Alfan, 1995).
Oksigen terlarut (Dissolved
Oxygen = DO) dibutuhkan
oleh semua jasad hidupuntuk pernapasan, proses metabolisme atau
pertukaran zat yang kemudian menghasilkanenergi
untuk pertumbuhan dan pembiakan. Untuk menjaga keseimbangan air terhadaplingkungannya
diperlukan standar parameter yang perlu mendapat perhatian, yaitu :
•BOD
< 75 ppm
•COD
< 100 ppm
•DO
> 3 ppm
•SS
(Suspended solid) < 100 ppm
•pH
6 – 9 (idealnya 6,5 – 7,5)
Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung sari beberapa faktor, seperti kekeruhan
air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti arus, gelombang
dan pasang surut. Kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnyasuhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas. Kandungan
oksigen terlarut (DO)minimum adalah 2 ppm
dalam keadaan nornal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun(
toksik ).
Kandungan oksigen terlarut
minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme . Idealnya, kandungan
oksigen terlarut tidakboleh kurang dari 1,7 ppm selamawaktu 8 jam dengan sedikitnya pada
tingkat kejenuhan sebesar 70 %. KLH menetapkan bahwa kandungan oksigen
terlarut adalah 5 ppm untuk kepentingan wisata bahari dan biota
laut (Soeseno, 1970).
Analisis
oksigen terlarut
Oksigen
terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan 2 macam cara, yaitu:
a)Metoda titrasi dengan cara WINKLER Prinsipnya dengan menggunakan titrasi iodometri.
Sampel yang akan dianalisisterlebih dahulu ditambahkan larutan MnCl2dan NaOH - KI, sehingga akan
terjadi endapan MnO2. Dengan menambahkan H2SO4 atau HCl maka endapan yang terjadiakan larut kembali dan juga akan membebaskan
molekul iodium (I2) yang ekivalendengan
oksigen terlarut.Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan
larutan standar natriumtiosulfat (Na2S203) dan menggunakan indikator larutan amilum (kanji). Reaksi
kimiayang terjadi dapat dirumuskan :
•MnCI2+
NaOHÃ Mn(OH)2+ 2 NaCI
•2
Mn(OH)2+ O2Ã 2 MnO2+ 2 H2O
•MnO2+
2 KI + 2 H2OMn(OH)2+ I2+ 2 KOH
•I2+
2 Na2S2C3Na2S4O6+ 2 NaI
b)Metoda
elektrokimiaCara penentuan oksigen terlarut dengan metoda elektrokimia adalah caralangsung untuk menentukan oksigen terlarut dengan alat
DOmeter. Prinsip kerjanya adalah menggunakan probe
oksigen yang terdiri dari katoda dan anoda yang direndam.
Nilai pH merupakan salah satu parameter yang praktis bagi pengukuran
kesuburan suatu perairan. Banyak reaksi kimia penting yang terjadi pada
tingkatan pH yang sulit. Menurut jenis dan aktivitas biologinya suatu perairan
dapat mengubah pH dari unit penanganan limbahnya (Mahida, 1984), tetapi pada
umumnya batas toleransi ikan adalah berkisar pada pH 4 “Aerd penth point”
sampai pH 2 “Basie death point”.
Adanya
masukan bahan-bahan terlarut yang dihasilkan oleh kegiatan penduduk di sekitar
DAS sampai pada batas-batas tertentu tidak akan menurunkan kualitas air laut.
Namun apabila beban masukan bahan-bahan terlarut tersebut melebihi kemampuan
laut untuk membersihkan diri (self purification), maka timbul permasalahan yang
serius yaitu pencemaran perairan, sehingga berpengarus negatif terhadap
kehidupan biota perairan dan kesehatan penduduk yang memanfaatkan air laut
tersebut (Soeseno, 1970).
BAB III
METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum
ini dilaksanakan pada hari senin, 14 November 2011 pukul 13.30 WIB. Bertempat
diruang laboratorium Oseanografi, jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sriwijaya, Inderalaya.
3.2. Alat dan Bahan
Adapun alat
yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
1. kertas
milimeter blok
2.
kalkulator
3.
penggaris
4. pensil
5.
penghapus
6. pena
3.3. Cara Kerja
|
BAB
IV
PEMBAHASAN
Di dalam air, oksigen memainkan peranan dalam menguraikan
komponen-komponen kimia menjadi komponen yang lebih sederhana. Oksigen memiliki
kemampuan untuk beroksida dengan zat pencemar seperti komponen organik sehingga
zat pencemar tersebut tidak membahayakan. Oksigen juga diperlukan oleh
mikroorganisme, baik yang bersifat aerob serta anaerob, dalam proses
metabolisme. Dengan adanya oksigen dalam air, mikroorganisme semakin giat dalam
menguraikan kandungan dalam air.
Oksigen terlarut (dissolved oxygen, disingkat DO) atau sering juga disebut dengan kebutuhan oksigen (Oxygen demand)
merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air. Nilai DO
yang biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini menunjukan jumlah oksigen (O2)
yang tersedia dalam suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada air,
mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika
nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran
DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air
seperti ikan
dan mikroorganisme.
Selain itu kemampuan air untuk membersihkan pencemaran juga ditentukan oleh
banyaknya oksigen dalam air. Oleh sebab pengukuran parameter ini sangat
dianjurkan disamping paramter lain seperti kob dan kod.
Pada umumnya air lingkungan yang telah tercemar kandungan oksigennya
sangat rendah. Hal itu karena oksigen yang terlarut di dalam air diserap oleh
mikroorganisme untuk memecah/mendegradasi bahan buangan organik sehingga
menjadi bahan yang mudah menguap (yang ditandai dengan bau busuk). Selain dari
itu, bahan buangan organik juga dapat bereaksi dengan oksigen yang terlarut di
dalam air organik yang ada di dalam air, makin sedikit sisa kandungan oksigen
yang terlarut di dalamnya. Bahan buangan organik biasanya berasal dari industri
kertas, industri penyamakan kulit, industri pengolahan bahan makanan (seperti
industri pemotongan daging, industri pengalengan ikan, industri pembekuan
udang, industri roti, industri susu, industri keju dan mentega), bahan buangan
limbah rumah tangga, bahan buangan limbah pertanian, kotoran hewan dan kotoran
manusia dan lain sebagainya.
Dengan melihat kandungan oksigen
yang terlarut di dalam air dapat ditentukan seberapa jauh tingkat pencemaran
air lingkungan telah terjadi. Cara yang ditempuh untuk maksud tersebut adalah
dengan uji :
- COD, singkatan dari Chemical
Oxygen Demand, atau kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi
terhadap bahan buangan di dalam air.
- BOD singkatan dari Biological
Oxygen Demand, atau kebutuhan oksigen biologis untuk memecah bahan
buangan di dalam air oleh mikroorganisme.
Melalui kedua cara tersebut dapat
ditentukan tingkat pencemaran air lingkungan. Perbedaan dari kedua cara uji
oksigen yang terlarut di dalam air tersebut Pertambahan
konsentrasi oksigen terlarut per satuan waktu dipengaruhi oleh bertambahnya oksigen dalam
perairan karena adanya proses reaerasi dan fotosintesis. Sementara
itu, berkurangnya konsentrasi oksigen per satuan waktu dipengaruhi oleh konsumsi oksigen oleh
pernapasan organisme pada ekosistem perairan. Berdasarkan
asumsi-asumsi dan variabel-variabel yang digunakan serta berdasarkan persamaan (4.1), (4.2) dan
(4.3) maka diperoleh model sederhana dari konsentrasi oksigen terlarut pada suatu ekosistem perairan.
Derajat keasaman perairan merupakan suatu parameter penting dalam
pemantauan kualitas air, dengan mengetahui jumlah kadar pH suatu perairan kita
dapat mengetahui tingkat produktifitas perairan tersebut. Kandungan pH dalam
suatu perairan dapat berubah-ubah sepanjang hari akibat dari proses
fotosintesis tumbuhan air. Derajat keasaman suatu perairan juga sangat
menentukan kelangsungan hidup organisme dan merupakan resultan sifat kimia,
fisika perairan.
Kadar oksigen dalam air laut akan
bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya
salinitas. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm dalam keadaan
normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Kandungan oksigen
terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, 1968).
Idealnya, kandungan oksigen terlarut tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama
waktu 8 jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 %.
BAB V
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan
yang didapat adalah :
- Kadar oksigen dalam air laut akan bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin tingginya salinitas.Air laut lebih padat karena garam yang terkandung didalamnya.
- Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme.
- Derajat keasaman perairan merupakan suatu parameter penting dalam pemantauan kualitas air.
4. Dengan
melihat kandungan oksigen yang terlarut di dalam air dapat ditentukan seberapa
jauh tingkat pencemaran air lingkungan telah terjadi.
5. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air
tersebut memiliki kualitas yang bagus.
DAFTAR
PUSTAKA
Afrianti,
2000. Kamus Istilah Perikanan. Kanisius. Yogyakarta. http://oseanografi.blogspot.com/200765.html (Diakses pada tanggal 10
November 2011)
Alfan, M.S., 1995. Evaluasi
Kualitas Fisika Kimia Air, sungai Ciliwung di Wilayah Kota Administrasi Depok
bagi Kepentingan Perikanan. Skripsi. IPB. Bogor.
Anonim. 2011. DissolveOksigen. http://id.wikipedia.org.wiki/salinitas
(Diakses pada tanggal 10 November
2011)
Anonim. 2011. OksigenTerlarut. http://oseanografi.blogspot.com/200765.html
(Diakses pada tanggal 10 November 2011)
Basyarie, A., 1995. Pengamatan Kualitas
Perairan di kawasan Pemeliharaan Ikan Ekor Kuning (Yellow Tail) dalam Keramba
Jaring Apung. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian.
Bojonegoro. Serang.
Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. http://blogspot.orang
Pintar.com
(Diakses pada tanggal 10 November 2011)
Effendi, H., 2000. Telaahan Kualitas Air. IPB Press. Bogor.
Fardiaz, S., 1995. Polusi
Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Mahida, U. N.
1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri.
http://blogspot.orangPintar.com
(Diakses pada tanggal 10 November 2011)
Nontji,Anugerah.2002.Laut Nusantara.Jakarata :
Djambatan
Nyebaken, JW. 1971. Biologi laut
suatu pendekatan ekologi. Gramedia : Jakarta.
Salmin. 2000.
Kadar Oksigen Terlarut di Perairan Sungai Dadap, Goba, Muara Karang dan Teluk Banten. http://blogspot.orangPintar.com
(Diakses pada tanggal 10 November 2011)
Soeseno. S .
1970. Limnologi untuk Sekolah Perikanan Menengah Atas. IPB, Bogor. http://blogspot.orangPintar.com
(Diakses pada tanggal 10 November 2011)
Sugiharto. (1987). Dasar-dasar
Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UIP: 6-7.
No comments:
Post a Comment